
Cahaya di Ujung Terowongan
Oleh: Svetlana Elvaretta Sugiarto (XI DPIB 1)
Seorang gadis berjalan tanpa arah menyusuri jalanan di kota. Seakan dunia tak memiliki batasan, kakinya dibiarkan melangkah tanpa tujuan. Gadis berseragam abu-abu itu meninggalkan sekolah dengan beribu tanya di kepala. Ia berjalan sejauh mungkin guna menjawab setiap pertanyaan yang ada. Namun, nihil, tak ada satupun pertanyaan yang terjawab.
Maya Larasati, seorang gadis yang senang menyebar tawa bagi sekelilingnya. Tak sedikit yang merasa iri padanya sebab banyak sekali kelebihan dari gadis ini. Entah itu karena kepintarannya, bakatnya, keadaan keluarganya, dan masih banyak lagi. Sayangnya, hidupnya tidak sesempurna seperti yang orang lain lihat.
Maya meratapi hasil ujiannya hari ini, hasilnya di bawah rata-rata, tidak seperti biasanya. Sudah terbayang amarah yang akan keluar dari ayahnya jika mengetahui hal ini. Maya sendiri saja kecewa, apalagi dengan kedua orang tuanya.
“Bodoh! Ujian segampang ini cuma dapet 70?!” Maya sontak menutup mata begitu ayahnya melempar secarik kertas kepadanya. Lelaki bertubuh besar itu lantas pergi meninggalkan Maya seorang diri.
Gadis itu memunguti kertas-kertas yang sudah terbuang ke lantai. Suara ayahnya terus menggema di telinga sampai setetes air mata lolos dari matanya. Tangisnya terhenti kala sebuah tangan menyapu hangat kepalanya. Maya menoleh dan mendapati ibunya berada di sisinya.
“Kenapa kok nilainya bisa turun?” tanya Ibu pada anaknya yang malang.
Maya menggeleng pelan. “Aku juga nggak tahu, Bu.”
“Pasti gara-gara kamu kebanyakan ikut kegiatan sekolah. Mulai kurangin, Ibu nggak mau kamu dapet nilai jelek lagi.” Maya hanya bisa mengangguk pasrah, rasanya untuk menyangkal pun sudah tak ada tenaga.
“Ibu nggak mau kamu jadi seperti Ibu ataupun Ayah. Kamu harus sukses dan angkat nama kita, Nak.” Ini kali kedua Ibu berkata demikian. Tanpa dia sadari, justru kalimat itu yang mempengaruhi pikiran putri sulungnya.
Ibu melangkah pergi meninggalkan kamar anaknya, meninggalkan jejak langkah di lantai yang kini terasa begitu sepi. Tangis gadis itu pecah lagi, seolah tak bisa tertahan. Seluruh tubuh Maya terasa begitu lelah, seakan tidak ada energi yang tersisa. Dalam kesunyian yang mendalam itu, Maya bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mengapa dirinya turut merasa kecewa? Mengapa dirinya juga ingin mendapat hasil lebih? Apakah ini tuntutan atau ambisi? Mungkin keduanya benar.
Harapan kedua orang tuanya begitu tinggi, seperti gunung yang berat untuk dipikul oleh pundak kecilnya. Setiap ekspektasi mereka menambah beban yang sudah cukup berat di hatinya. Maya menyadari bahwa ketika dia merasa takut akan mengecewakan orang tuanya, di situlah ambisinya mengambil alih. Ambisi itu menjadi dorongan yang terus-menerus menuntutnya untuk lebih dari sekadar yang ia mampu.
Dengan rasa cemas yang mendalam, Maya meraih sebuah buku kecil yang selalu dia sembunyikan dari siapapun. Buku itu penuh dengan catatan dan tulisan pribadi yang jarang sekali dibagikannya kepada orang lain. Dia menggenggam bolpoin di tangannya, merasakan dinginnya logam yang kontras dengan hangatnya telapak tangannya. Begitu ia mulai menorehkan tinta pada secarik kertas, tangannya bergetar, tak mampu menahan kegugupan yang menyergapnya.
Setiap kalimat yang ia tulis tampak seperti beban berat yang harus dipikul. Ketika ia membaca ulang tulisannya, dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menekan dari dalam. Setiap kata yang tercetak di kertas seolah memanggil kembali semua rasa kecewa dan tekanan yang selama ini dia rasakan. Maya merasa terjebak dalam lingkaran harapan dan ambisi yang saling bertentangan, dan dia tidak tahu bagaimana cara untuk melepaskan diri darinya.
Aku benci orang lain saling membandingkan nasib. Akan tetapi, bolehkah kali ini aku membandingkan hidupku dengan yang lain? Kepalaku sakit, mataku panas, badanku pegal. Aku butuh istirahat sebentar saja, aku ingin sehari tidak harus memikirkan tentang masa depanku. Hanya satu hari, kumohon. Ayah, Ibu, mimpi kalian terlalu besar. Namun, dukungan kalian sangat kecil, sampai-sampai aku tidak bisa merasakannya.
Aku si Anak Sulung yang dituntut lebih sukses ketimbang adik-adikku. Akulah yang akan menjadi contoh untuk mereka. Ibu, Ayah … Mengapa harapan kalian pada adik-adikku pupus lebih dulu? Bagaimana kalau aku gagal menjadi panutan mereka? Bagaimana jika aku justru menyerah di tengah jalan? Mengapa harus aku yang memenuhi ekspektasi kalian?
Belum sempat Maya selesaikan tulisannya, ia dikejutkan dengan kehadiran ayahnya. “Masih bikin cerita? Mau jadi apa kamu besok? Jadi penulis nggak akan menjamin masa depan kamu.” Setelahnya, Ayah menutup pintu kamar dengan keras.
Lagi-lagi Maya hanya bisa diam, bibirnya kelu. Meladeni ucapan ayahnya justru akan menimbulkan ribut lebih besar. Menjadi penulis ialah impiannya, sayangnya mimpi itu harus dia kubur dalam-dalam. Coba saja ayahnya tidak melarang, Maya tak harus bersembunyi-sembunyi jika menulis sebuah cerita.
Maya memilih mengalah, dia menghela napas pelan dan mengembalikan bukunya. Setelah membersihkan diri, gadis itu merebahkan tubuhnya di ranjang. Rasa kantuknya begitu menyeluruh, sampai-sampai dia hampir tidak ingat kapan dia jatuh tertidur. Dalam sekejap Maya sudah terlelap, meninggalkan semua kelelahan hari ini.
Pemilik surai hitam lebat itu terbangun di sebuah ruangan yang sangat asing baginya. Ia merasa seolah telah dipindahkan ke dunia lain. Ruangan tersebut dipenuhi dengan rak-rak kayu yang amat tinggi, setiap raknya berjajar penuh dengan buku-buku yang tampak sudah tak terhitung jumlahnya. Hampir seluruhnya adalah buku-buku bersampul cokelat, tersusun dengan rapi dan teratur. Rasa penasaran menggerakkan Maya untuk mengambil salah satu buku dari rak terdekat. Judulnya tertulis “Amelda Cantika”, sebuah nama yang dikenalnya dengan baik sebagai salah satu temannya.
Ketika Maya membuka buku tersebut, ia segera mengernyitkan dahi saat membaca halaman pertama. Buku itu ternyata merupakan kisah perjalanan hidup seorang Amelda Cantika, yang tidak lain adalah temannya sendiri. Maya membaca dengan penuh perhatian, mengikuti setiap detail yang tertulis. Ketika ia sampai di halaman terakhir, senyum bahagia mulai mengembang di wajahnya. Ternyata, masa depan Amel sudah terukir dengan jelas dalam buku tersebut.
Maya merasa sangat senang dan bangga. Ia tahu betul betapa besar keinginan Amel untuk mencapai impian tersebut. Selama ini, Amel sangat mendambakan menjadi seorang peneliti—meskipun saat ini dia berada di jalur pendidikan yang sangat berbeda. Buku itu menjelaskan dengan rinci bagaimana Amel akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan jurusan yang benar-benar sesuai dengan minat dan bakatnya.
Maya kembali menemukan buku temannya yang lain. Kali ini, buku milik Tamara, gadis berparas ayu yang selalu memandang dunia dengan mata penuh impian. Tamara memiliki cita-cita besar untuk menjadi model ternama, dan Maya telah lama tahu tentang tekad dan usaha keras yang Tamara lakukan untuk mencapainya. Namun, saat membuka halaman-halaman akhir buku itu, Maya merasakan perubahan yang mendalam dalam dirinya.
Mimik wajah Maya perlahan-lahan berubah murung. Binar matanya yang semula cerah dan penuh semangat kini memudar saat ia menyelami bab-bab terakhir. Di sana, terungkap sebuah kisah yang menyedihkan: perjalanan karir cemerlang Tamara harus berakhir tragis akibat tuduhan jahat. Pada puncak kejayaannya, ketika dunia seakan menyambutnya dengan tangan terbuka, tiba-tiba datanglah fitnah yang merusak segalanya.
Tuduhan yang mengerikan itu merenggut prestasi dan reputasi Tamara. Seluruh dunia tampak menuding jari kepadanya, memberikan cacian dan makian yang tidak seharusnya ditujukan kepadanya. Bahkan setelah segala sesuatunya terbukti salah dan bersih dari kesalahan, Tamara tidak bisa lagi kembali ke panggung model yang dulu dia cintai. Trauma yang mengganggu dan menghancurkan harapannya membuatnya memilih untuk menghilang dari dunia yang telah memberinya banyak luka.
Maya merasa sangat terpukul. Ia tidak bisa memahami mengapa seorang gadis yang sebaik dan seberbakat Tamara harus mengalami nasib yang begitu malang. Keberanian dan ketulusan Tamara yang telah dikenalnya selama ini tampak seolah sia-sia di hadapan ketidakadilan. Saat menutup buku itu, Maya merasakan beratnya beban yang tampak tak tertanggung oleh Tamara dan merasa sedih mendalam atas nasib teman yang sangat dikasihinya.
Maya menghela napas, dia mulai lelah membaca buku-buku milik orang lain. Hatinya berkecamuk, perasaannya terasa dipermainkan. Ada bahagia, ada juga sedih. Apakah masa depan orang tidak bisa bahagia semua? Kenapa harus ada kegagalan? Padahal tak ada satupun manusia yang ingin kegagalan.
Dug!
Sungguh ceroboh, gadis itu menyenggol satu buku hingga terjatuh. Cepat-cepat dia ambil dan diusapnya perlahan. Rupanya itu buku miliknya, Maya Larasati. Sekarang gilirannya membaca garis hidupnya sendiri.
“Oke, Maya, tenang. Langsung ke halaman terakhir. Habis itu tutup lagi bukunya,” ucapnya untuk menenangkan dirinya sendiri.
Perlahan Maya membuka buku itu. Melewati banyak halaman hingga sampai di akhir. Tertulis di sana bahwa Maya akan menerbitkan banyak buku. Namanya akan dikenal banyak orang, tulisannya pun juga. Mimpinya akan terwujud.
Akan tetapi Maya tak merasakan kesenangan di hatinya. Itu tandanya, mimpi kedua orang tuanya tidak terwujud. Tandanya, Maya gagal menjadi seorang arsitek seperti yang diharapkan orang tuanya. Tandanya, dia justru menggapai mimpi yang akan sangat dibenci Ayahnya.
Tidak, bukan ini yang Maya harapkan. Walaupun menjadi penulis adalah impiannya, tetap saja harapan kedua orang tuanya melebihi segalanya. Gadis itu tak mau kedua orang tuanya kecewa. Maya lebih memilih mengubur mimpinya menjadi penulis, ketimbang melihat kedua orang tuanya bersedih.
Maya merobek tiap lembar dari buku itu, melemparnya ke segala arah. Dia menangis tersedu-sedu berharap ini semua tak benar. Gadis itu memohon pada Sang Kuasa agar mengganti garis hidupnya. Maya yang malang meraung-raung dalam ketidak berdayaan.
Maya terbangun dengan tubuh yang basah oleh keringat dingin. Napasnya cepat dan tak beraturan, seolah-olah dia baru saja berlari dalam kecepatan penuh. Dengan tangan yang masih bergetar, Maya meraih dadanya, merasakan detak jantungnya yang berdentum keras. Berusaha menenangkan diri, dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba mengusir bayangan yang masih membayangi pikirannya.
“Ini cuma mimpi, cuma mimpi,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang dia lihat semalam hanyalah ilusi belaka. Namun, bayangan suram dan suara samar dari mimpinya terus menghantui pikirannya. Mungkin dia tidak akan bisa melupakan perasaan tercekam dan ketakutan yang membelitnya, meski dia terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya tidak nyata.
***
Sudah beberapa hari mimpi itu terus terbayang di pikiranku. Semakin dilupakan, justru ingatan itu semakin kuat. Aku lagi-lagi berjalan tanpa arah usai menyelesaikan sekolah hari ini. Kali ini tujuanku adalah taman kota yang tidak terlalu ramai. Aku duduk di sebuah bangku di sana. Sendirian sambil melihat orang-orang berjalan melewatiku.
“Hai!” Lamunanku buyar karena kedatangan seseorang yang tiba-tiba duduk di sisiku. Rupanya seorang wanita cantik yang ku duga lebih tua dariku.
“Kakak siapa?” tanyaku dengan penasaran.
“Kenalin, aku Maya Larasati.” Aku terdiam, namanya sama persis dengan namaku. Kebetulan yang begitu membingungkan.
“Kamu kenapa duduk di sini? Kamu bolos, ya? Anak sekolah kok udah pulang.” Aku menggeleng cepat. “Enggak Kak, hari ini ujian makanya aku pulang cepet.”
“Oh, lagi ujian, terus kenapa kamu duduk di sini?”
“Gapapa, Kak.”
“Kenapa? Kenapa, Maya? Ayo cerita.” Tunggu, kenapa wanita ini tahu namaku?
Entah keberanian dari mana, aku mulai menceritakan segala keresahanku. “Kak, aku capek. Aku mau nyerah aja. Aku nggak mau mikirin apa-apa lagi.” Kepalaku tertunduk, pikiran ini berulang kali muncul tanpa sebab.
Kak Maya mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Dia mengambil ID card miliknya lalu dia kalungkan di lehernya. “Kamu lihat ini.” Aku sontak maju dan membacanya. Aku tidak tahu pasti apa itu, tetapi aku paham kalau Kak Maya adalah seorang arsitek.
Tangannya menyibak beberapa helai rambut yang terbang menerpa wajahku. “Kalau kamu menyerah hari ini. Aku nggak bisa menjadi seperti sekarang.”
“Maya, aku tahu yang kamu rasakan itu berat. Tapi usaha tidak pernah mengkhianati hasilnya. Kamu berhasil menjadi apa yang dicita-citakan kedua orang tuamu. Adik-adikmu bercerita ke semua orang kalau mereka bangga punya kakak kayak kamu.”
Aku menggeleng lagi. “Enggak Kak, justru aku nggak bakal jadi arsitek. Aku bakal jadi penulis, hal yang Ayah benci.”
“Kamu percaya sama mimpi itu?”
Lagi-lagi aku menggeleng. “Tapi aku juga nggak bisa percaya Kakak.”
Wanita di depanku tersenyum lebar. “Itu tandanya masa depan kamu ada di tangan kamu sendiri. Bukan ada di tangan buku itu ataupun di tanganku.”
“Terus untuk apa Kakak di sini?”
“Aku ini gambaran kamu di masa depan. Tetapi, aku bisa saja berubah. Dan itu tergantung dirimu sekarang. Kamu pilih masa depanmu dikendalikan semesta atau dikendalikan tanganmu sendiri.”
Apa maksud dari perkataan Kak Maya? Aku tidak bisa mencernanya. Kenapa dia berkata seolah-olah dia tahu apa yang terjadi kedepannya. “Tapi, Kak. Aku takut nggak bakal jadi kayak Kakak. Aku takut aku gagal.”
“Nggak, Maya. Aku itu kamu, kamu itu aku. Dan kita berhasil.”
“Mau peluk?” Kak Maya membuka kedua tangannya lebar-lebar. Tawaran barusan langsung kuangguki. Aku jatuh dalam pelukannya dengan air membasahi muka. Dekapan yang selama ini kuharapkan, rasanya sangat hangat. Aku nyaman dalam pelukannya, aku tidak mau melepasnya.
Kak Maya bangun dari duduknya tiba-tiba, dia menatap panik arloji di tangannya. “Waduh, waktu istirahatku bentar lagi habis. Aku harus balik sekarang.”
“Maya, ingat baik-baik, ya. Jangan pernah menyerah apa pun yang terjadi. Kalau kamu menyerah, aku tidak akan pernah ada. Ini bukan akhir, tapi awal. Aku pergi dulu.”
Kata-kata Kak Maya terus bergema di telingaku seiring dengan punggungnya yang semakin mengecil di kejauhan. Langkahnya perlahan menghilang dari pandanganku, meninggalkan jejak yang seakan terserap dalam kabut pagi. Kesepian mendalam menyelimuti diriku, terasa hampir menyakitkan. Rasa hampa melanda, menggerogoti setiap sudut hati dan pikiranku.
Aku terpaku, menatap tempat Kak Maya terakhir kali terlihat, berharap dia akan kembali. Namun, ruang kosong yang tersisa hanya menegaskan bahwa dia benar-benar pergi. Di sekelilingku, hanya ada keheningan, seperti sebuah ruang yang diisi oleh gema perkataannya yang terakhir.
Berharap bahwa apa yang dia katakan adalah benar, bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, aku menguatkan tekad dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ini. Setiap langkah, setiap keputusan, akan menjadi cerminan dari janji yang kupegang teguh dalam hati. Aku harus memperjuangkan apa yang kakak inginkan untukku, meski terasa berat dan penuh tantangan.
Dengan hati yang bergetar namun penuh harapan, aku menatap masa depan, siap menghadapi apapun yang mungkin datang. Karena kali ini, aku akan berjuang untuk masa depanku sendiri. (Ana@06/10/2024)

Svetlana Elvaretta Sugiarto, yang kerap disapa Svetlana. Gadis kelahiran Surakarta, 7 Agustus yang menyukai rangkaian kata indah dan memiliki makna dalam. Kini sedang menempuh pendidikan di SMK Negeri 2 Yogyakarta jurusan Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan. Menulis sudah menjadi kegemarannya sejak kecil. Dia dapat mencurahkan segala pikirannya dalam tulisannya. Tak heran jika di sela-sela kesibukannya dengan kegiatan organisasi, ia masih menyempatkan diri untuk menulis. Jejak media Svetlana dapat dilihat dari akun Instagram @tevslana_