Mengejar Bintang Menyentuh Langit
Oleh: Citra Medina Ayuning Tyas (X KGS)
Di tengah cakrawala yang tampak tak berujung, di mana batas antara langit dan bumi hanya menjadi khayalan mata yang tertipu, dua sosok muda berdiri teguh, memandangi masa depan yang tergantung pada pilihan dan perjuangan mereka. Namun, di balik mata mereka yang menyimpan mimpi-mimpi besar, ada semesta kecil yang sedang bertarung dengan realitas yang keras. Mimpi mereka bukanlah sekadar keinginan dangkal atau imajinasi kosong, tetapi suatu dialektika antara apa yang mungkin dan yang mustahil, di mana harapan dan ketidakpastian menari dalam simfoni yang kadang terdengar indah, kadang mengerikan.
Aliandra, yang lebih sering dipanggil Lia, adalah seorang gadis dengan pandangan tajam, seolah setiap gerak matanya mampu menembus lapisan terdalam dari realitas. Rambut hitam legamnya tergerai seolah tak peduli pada angin yang berhembus, namun tatapan matanya mengisyaratkan bahwa pikirannya sedang berada jauh melampaui waktu dan ruang di mana ia berdiri saat itu. Impiannya adalah menjadi seorang dokter, bukan semata karena gelar yang prestisius, tetapi karena baginya, profesi itu merupakan manifestasi dari filsafat hidup yang diyakininya. Bagi Lia, kehidupan adalah teka-teki eksistensial yang tak pernah sepenuhnya terpecahkan, namun harus terus dihadapi dengan penuh kesadaran.
Namun, Lia tahu bahwa menjadi dokter bukanlah hal yang mudah. Keluarganya hidup dalam keterbatasan ekonomi yang begitu nyata, ibarat tembok besar yang memisahkan dirinya dari mimpi-mimpinya. Ayahnya adalah seorang buruh kasar di pabrik, sementara ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di beberapa rumah di sekitar kota. Setiap hari, Lia harus melihat kedua orang tuanya pulang dengan tubuh yang lelah dan wajah yang kusam, seakan waktu telah mengikis semangat mereka sedikit demi sedikit. Mimpi besar seperti menjadi dokter sering kali terasa terlalu jauh untuk dijangkau, seakan mimpi itu adalah bintang di langit yang terlalu tinggi untuk digapai tangan manusia. Namun, meski demikian, Lia tidak pernah berhenti bermimpi.
Ardian, di sisi lain, adalah seorang pemuda yang pandangannya tertuju pada langit. Ia ingin menjadi seorang pilot di Akademi Angkatan Udara, bukan karena keglamoran profesi itu, melainkan karena ia melihat langit sebagai tempat di mana kebebasan sejati dapat ditemukan. Bagi Ardian, terbang adalah simbol dari melampaui batas-batas duniawi, keluar dari determinasi materi yang sering kali menghimpit manusia dalam rutinitas yang membosankan dan membatasi. Langit, baginya, adalah ruang tak terbatas di mana ia bisa merasakan kebebasan yang sejati, kebebasan dari segala keterikatan yang membelenggu dirinya di dunia ini.
Namun, seperti halnya Lia, Ardian juga dihadapkan pada kenyataan yang keras. Keluarganya bukanlah keluarga yang kaya raya. Ayahnya hanyalah seorang pensiunan pegawai negeri dengan gaji yang tak seberapa, sementara ibunya adalah seorang pedagang kecil di pasar tradisional. Setiap kali Ardian melihat ibunya berjuang menjual barang-barang dengan penghasilan yang pas-pasan, ia merasa hatinya tercabik. Bagaimana mungkin ia bisa mewujudkan mimpinya menjadi seorang pilot jika untuk makan sehari-hari saja keluarganya sering kali kesulitan? Bagaimana mungkin ia bisa melambung tinggi di langit, ketika bumi yang menjadi tempat berpijaknya begitu keras dan dingin?
Namun, Ardian bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Meskipun realitas di sekitarnya sering kali terasa seperti tembok besar yang tak bisa ditembus, ia percaya bahwa mimpi adalah sesuatu yang hidup, sesuatu yang bergerak dan berkembang seiring dengan tekad dan usaha. Mimpi, baginya, adalah seperti burung yang terus mengepakkan sayapnya, meskipun badai dan angin kencang mencoba menghempasnya ke tanah.
Suatu hari, di bawah langit yang mulai memerah di ufuk barat, Lia dan Ardian duduk di bangku taman sekolah, memandang jauh ke depan, ke arah cakrawala yang seolah tak berujung. “Kau tahu,” ujar Lia sambil menatap langit yang mulai diselimuti warna jingga, “kadang aku merasa mimpi ini terlalu besar untukku. Menjadi dokter… rasanya seperti mimpi yang mustahil.”
Ardian, yang duduk di sampingnya, hanya tersenyum tipis. “Tidak ada mimpi yang terlalu besar. Hanya ada manusia yang belum siap untuk merengkuhnya,” jawabnya pelan, namun penuh keyakinan. “Aku pun merasa begitu tentang mimpiku menjadi pilot. Tapi, kita harus percaya bahwa jika kita terus berjalan, langkah demi langkah, pada akhirnya kita akan sampai.”
Lia menoleh, menatap Ardian dengan pandangan penuh pertanyaan. “Bagaimana bisa kau begitu yakin?”
Ardian menghela napas sejenak, kemudian menatap ke arah langit yang mulai gelap. “Karena langit di atas sana tidak pernah menanyakan siapa yang bisa terbang dan siapa yang tidak. Langit hanya ada di sana, menunggu. Yang harus kita lakukan adalah menemukan cara untuk sampai ke sana.”
Lia terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Ardian. Impian mereka, baginya, bukanlah sesuatu yang mudah digapai. Seperti laut yang tenang di permukaan namun menyimpan badai di kedalaman, begitu juga dengan mimpi-mimpi mereka. Mereka berdua tahu, mimpi-mimpi mereka bukanlah sekadar tujuan akhir, melainkan proses panjang yang dipenuhi tantangan tak terduga.
“Aku paham apa yang kau maksud,” ujar Lia akhirnya, suaranya bergetar ringan seperti angin yang menyapu dedaunan. “Tapi, kau tahu sendiri situasi kita. Keluargaku bahkan tak bisa menjamin apakah aku bisa lanjut kuliah atau tidak. Biaya kuliah kedokteran itu… hiperbolis. Lebih besar dari apapun yang bisa kubayangkan.” Dalam benak Lia, biaya itu seperti gunung yang menjulang begitu tinggi hingga puncaknya tersembunyi di balik awan, tak mungkin dijangkau hanya dengan kemampuan sederhana.
Ardian memandangnya, tatapannya penuh pengertian. Ia tahu persis apa yang dirasakan Lia, karena ia pun berada di perahu yang sama. “Aku juga merasakan hal yang sama. Masuk Akademi Angkatan Udara tidak hanya soal fisik dan akademis. Ada banyak hal lain yang mungkin tidak bisa kita kontrol. Tapi, Lia, mimpi-mimpi kita ini adalah seperti api kecil dalam kegelapan. Mungkin kecil, tapi ia mampu menerangi jalan kita jika kita biarkan ia terus menyala. Kita hanya harus menjaga agar api itu tidak padam.”
Lia tersenyum samar, meskipun masih ada kecemasan yang jelas tergurat di wajahnya. “Kau selalu punya cara untuk membuat segalanya terdengar mungkin, Ardian. Tapi, sejujurnya, aku takut. Bagaimana jika kita gagal? Bagaimana jika semua ini hanya angan-angan kosong?”
Ardian terdiam sejenak, menatap jauh ke depan. “Takut adalah bagian dari perjuangan. Rasa takut itu wajar, tapi jangan biarkan ia menghentikan langkahmu. Rasa takut itu seperti bayangan—ia hanya ada jika kau berhenti dan membiarkannya tumbuh. Namun, jika kau terus bergerak maju, bayangan itu akan tertinggal di belakangmu.”
Dengan rendah hati, Ardian mencoba menyederhanakan ketakutannya sendiri. “Aku bukan siapa-siapa, Lia. Aku hanyalah anak dari keluarga sederhana, dan mungkin apa yang kuimpikan ini jauh di luar jangkauan. Tapi setidaknya, selama aku masih memiliki keyakinan, aku akan tetap berusaha.”
Lia menatap Ardian dengan penuh kekaguman. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat segala kekhawatiran tampak sedikit lebih ringan, meskipun hanya untuk sejenak. Mungkin Ardian benar, mimpi besar tidak akan pernah bisa dijangkau jika kita tak memulainya dengan langkah kecil, satu demi satu.
Malam itu, ketika Lia pulang ke rumah, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Ibunya, yang biasanya sibuk di dapur, kali ini duduk di ruang tamu, memandangi televisi tua yang menampilkan berita ekonomi yang muram. Ayahnya baru saja pulang dari kerja, wajahnya tampak semakin tirus dan keriput akibat bertahun-tahun bekerja keras.
“Ibu, apa yang sedang ibu pikirkan?” tanya Lia pelan, duduk di samping ibunya. Ia tahu bahwa di balik ekspresi tenang ibunya, ada beban yang tak terlihat—beban yang selama ini dipendam dalam diam, seperti gunung es yang sebagian besar tubuhnya tersembunyi di bawah air.
Ibunya tersenyum tipis, “Tidak apa-apa, Nak. Hanya memikirkan masa depan. Kehidupan semakin sulit, dan ibu hanya berharap kau bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari ini.”
Lia terdiam. Kata-kata ibunya terasa seperti beban tambahan di pundaknya, namun sekaligus juga mengingatkannya pada alasan mengapa ia tak boleh menyerah. Ia ingin, dengan segala cara, memberi keluarganya kehidupan yang lebih baik. Mimpi menjadi dokter bukan sekadar tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang mengangkat keluarganya dari keterpurukan.
Di tempat lain, Ardian duduk di kamarnya yang sempit, memandangi dinding yang penuh dengan poster pesawat tempur dan foto-foto pilot legendaris. Di sana, di dalam ruang kecil itu, ia bermimpi tentang langit yang luas.
Ayahnya mengetuk pintu dan masuk, wajahnya penuh kelelahan seperti biasa. “Ardian, besok ayah harus pergi lebih awal ke kantor. Tolong bantu ibumu di pasar, ya.”
“Baik, Yah,” jawab Ardian tanpa ragu. Setiap hari, ia melihat ibunya berjuang menjual barang-barang kecil untuk mencari nafkah, dan itu membuatnya semakin bertekad untuk meraih mimpi besarnya. Bagi Ardian, setiap keringat yang jatuh dari kening ibunya adalah pengingat akan harga sebuah impian.
“Ayah…” Ardian memulai, suaranya terdengar ragu. “Menurut Ayah… bisakah aku benar-benar masuk Akademi Angkatan Udara?”
Ayahnya terdiam, dengan pandangan serius. “Ardian, aku tahu kau punya mimpi besar. Aku tidak akan berbohong—jalan yang akan kau tempuh tidak mudah. Banyak hal yang mungkin akan menghalangi jalanmu. Tapi aku juga tahu satu hal. Jika kau tidak mencoba, kau tidak akan pernah tahu seberapa jauh kau bisa melangkah.”
“Namun, bagaimana dengan biayanya? Semua tes, persyaratan… semua itu butuh uang yang tak sedikit.”
Ayahnya tersenyum getir. “Kita tidak punya banyak, Nak. Tapi kita punya tekad. Tekad itu, meskipun tidak terlihat, kadang bisa lebih kuat dari apapun yang bisa dibeli dengan uang.”
Tekad itu, bagi Ardian, seolah menjadi sosok hidup yang berjalan bersamanya. Ia tidak pernah sendiri dalam perjalanannya, karena di setiap langkah, tekad itu ada di sampingnya, mendorongnya maju ketika ia mulai merasa lelah dan putus asa.
Hari-hari berlalu. Lia dan Ardian terus menjalani rutinitas mereka di sekolah, namun dengan tekad yang semakin membara. Setiap pelajaran yang mereka ikuti, setiap ujian yang mereka jalani, selalu dilakukan dengan kesadaran bahwa langkah-langkah kecil ini adalah bagian dari perjalanan menuju mimpi besar mereka. Meskipun dunia di sekitar mereka sering kali tak memberikan harapan, mereka percaya bahwa selama mereka terus bergerak, tidak ada yang tidak mungkin.
Mereka berdua tahu bahwa mimpi tidak datang dengan sendirinya. Lia menghabiskan malam-malamnya belajar lebih keras dari siapapun di kelasnya. Ia tahu, jika ia ingin mendapatkan beasiswa untuk masuk kedokteran, ia harus berada di puncak kelas. Setiap buku yang ia baca, setiap soal yang ia kerjakan, ia lakukan dengan satu tujuan; untuk mewujudkan mimpinya.
Di sisi lain, Ardian terus berlatih fisik. Ia tahu bahwa untuk masuk Akademi Angkatan Udara, ia harus memiliki fisik yang prima. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk berlari di sekitar lingkungannya, melatih kekuatannya, seakan ia sedang mempersiapkan dirinya untuk terbang di atas dunia ini. Di setiap langkah larinya, ia membayangkan dirinya melampaui batas-batas bumi, menuju langit yang begitu ia impikan.
Pagi itu, sekolah tampak seperti biasa—ramai oleh siswa yang datang dan pergi, berbincang tentang hal-hal yang seolah-olah menjadi masalah besar dalam kehidupan mereka. Namun bagi Lia dan Ardian, percakapan ringan teman-teman mereka terasa asing, seolah-olah mereka terjebak dalam dunia yang berbeda. Dunia mereka kini terfokus pada satu tujuan: ujian akhir yang akan menentukan mimpi besar mereka.
Lia, dengan wajah yang tampak sedikit pucat karena kurang tidur, menatap papan pengumuman di sekolah. Di sana, namanya berada di peringkat atas—sesuatu yang seharusnya membuatnya merasa bahagia. Namun, senyumnya tidak penuh. Ia tahu bahwa nilai yang tinggi bukanlah jaminan untuk bisa masuk ke Fakultas Kedokteran. Masih ada masalah biaya, yang seperti bayangan kelam selalu mengintai di setiap langkahnya.
“Selamat, Lia!” seru salah satu temannya, Sarah, yang juga ikut melihat hasil ujian. “Kau memang selalu jadi yang terbaik. Pasti setelah ini kau bisa masuk Fakultas Kedokteran di universitas mana pun yang kau mau.”
Lia tersenyum tipis, namun hatinya berat. “Terima kasih, Sarah. Tapi ini baru langkah pertama. Masih banyak yang harus aku lakukan.”
Sarah menatapnya dengan tatapan bingung. “Kau selalu begitu, terlalu merendah. Kau pasti bisa! Jangan khawatir soal apa pun.”
Lia tersenyum, mencoba menutupi kekhawatirannya “Aku hanya seorang gadis biasa, Sarah. Kadang aku merasa mimpiku ini terlalu tinggi untukku.”
Namun dalam hati, Lia merasa kegelisahan yang dalam. Di rumahnya, setiap hari ia melihat ibunya berjuang dengan pekerjaan rumah tangga, dan ayahnya yang semakin menua masih bekerja keras di pabrik. Setiap kali ia memikirkan itu, hatinya terasa semakin berat.
Sementara itu, Ardian berada di lapangan sekolah, melakukan latihan fisik. Setiap kali ia berlari, kakinya terasa semakin kuat, otot-ototnya semakin terlatih. Namun, di balik kekuatan tubuhnya, ada rasa cemas yang selalu menghantuinya. Biaya untuk mengikuti berbagai tes dan pelatihan tidaklah murah, dan keluarganya bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Ardian!” teriak salah satu temannya, Bima, dari sisi lapangan. “Kau pasti bisa jadi pilot yang hebat! Aku tidak pernah melihat orang yang lebih bersemangat darimu.”
Ardian menghentikan larinya dan berjalan ke arah Bima. “Semangat tidak cukup, Bima. Aku butuh lebih dari itu.”
Bima menepuk bahunya. “Kau pasti bisa, bro. Kau punya tekad yang kuat. Lagipula, aku dengar pemerintah sering memberikan beasiswa untuk mereka yang berprestasi seperti kau..”
Ardian tersenyum tipis, namun dalam hatinya, ia tahu bahwa tidak semudah itu. Hanya sedikit yang bisa mendapatkan kesempatan itu, dan Ardian tahu bahwa ia harus berjuang lebih keras dari siapapun untuk bisa mendapatkan tempat di akademi yang ia idam-idamkan.
Seperti dua daun yang hanyut di sungai yang sama, Setiap tantangan yang mereka hadapi adalah seperti batu besar yang menghalangi jalan mereka, tapi mereka tidak berhenti. Mereka terus mengalir, meskipun arus terasa semakin kuat.
Pada suatu malam, Lia duduk di meja belajarnya yang kecil, menatap buku-buku pelajaran yang berserakan di sekelilingnya. Di luar jendela, hujan turun dengan deras, seolah-olah langit sedang mencurahkan semua beban yang ia simpan selama ini. Lia tahu bahwa waktu semakin sempit. Jika ia tidak menemukan solusi untuk masalah biayanya, mimpinya akan menguap seperti embun yang tersapu oleh matahari pagi.
Sontak, pintu kamarnya terbuka. Ibunya masuk, membawa secangkir teh hangat.
“Lia, ibu tahu kau sedang memikirkan banyak hal,” kata ibunya dengan suara lembut. “Tapi kau harus ingat, apapun yang terjadi, kami selalu mendukungmu. Kami tidak punya banyak, tapi kami akan berusaha sebisanya untuk membantumu.”
Lia menatap ibunya, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi, Bu… bagaimana kita bisa membayar biaya kuliah? Aku tahu kita tidak punya cukup uang.”
Ibunya tersenyum, meskipun ada kelelahan yang terlihat jelas di wajahnya. “Jangan khawatir soal itu sekarang, Nak. Kita akan mencari jalan. Mimpi-mimpimu terlalu berharga untuk dihancurkan oleh hal-hal seperti ini.”
Kata-kata ibunya seolah-olah menjadi angin yang menenangkan badai di dalam hatinya. Lia tahu bahwa masih ada harapan, meskipun kecil. Tekadnya seperti lilin yang terus menyala di tengah angin kencang, tidak pernah padam meskipun goyah.
Di sisi lain, Ardian juga berjuang dalam diam. Ia tahu bahwa semakin dekat hari seleksi Akademi Angkatan Udara, semakin besar pula rasa cemasnya. Ia mulai mempersiapkan segala dokumen yang dibutuhkan, mengumpulkan setiap rupiah yang bisa ia hemat untuk biaya pendaftaran, bahkan membantu ibunya lebih giat di pasar.
Pada suatu pagi, Ardian menerima kabar baik. Sekolahnya mengumumkan bahwa ada program beasiswa khusus untuk siswa berprestasi yang ingin melanjutkan pendidikan di institusi militer. Beasiswa ini menanggung sebagian besar biaya yang diperlukan, dan Ardian tahu bahwa inilah kesempatan yang ia butuhkan.
Dengan cepat, Ardian mendaftar dan mengikuti proses seleksi beasiswa tersebut. Hari demi hari berlalu dengan penuh ketegangan, namun Ardian tidak pernah menyerah. Setiap tantangan yang ia hadapi dianggapnya sebagai bagian dari perjalanan yang harus ia lalui.
Lia pun tak ketinggalan. Meskipun kekhawatirannya soal biaya masih membayangi, ia terus fokus pada pelajarannya. Suatu hari, kepala sekolah memanggilnya ke kantor. Dengan jantung berdebar, Lia duduk di depan meja kepala sekolah yang dihiasi oleh berkas-berkas.
“Kamu tahu, Lia,” ujar kepala sekolah dengan senyum hangat, “dengan prestasi akademismu yang luar biasa, kamu berhak mendapatkan rekomendasi dari sekolah untuk beasiswa penuh di Fakultas Kedokteran.”
Lia terkejut, matanya terbuka lebar. “Beasiswa penuh, Pak?”
Kepala sekolah mengangguk. “Ya. Ini adalah salah satu program dari pemerintah untuk siswa-siswa berprestasi seperti kamu. Kamu hanya perlu mengajukan beberapa dokumen, dan jika diterima, kamu tidak perlu khawatir soal biaya kuliah.”
Air mata mulai mengalir di pipi Lia. Ia merasa seperti beban besar yang selama ini menghimpitnya perlahan mulai terangkat. Di luar sana, mungkin hujan masih turun, tapi di dalam hatinya, cahaya harapan mulai menyala.
Hari ujian seleksi Akademi Angkatan Udara tiba. Ardian berdiri di antara ratusan calon lainnya, semuanya mengenakan seragam putih dengan tatapan yang penuh harapan. Udara pagi terasa dingin, namun Ardian merasakan hangatnya semangat yang membara di dadanya.
Tes demi tes dilalui dengan penuh konsentrasi. Mulai dari tes akademis hingga fisik, Ardian memberikan segalanya. Meskipun kadang tubuhnya terasa lelah, tekadnya tetap teguh. Setiap langkah yang ia ambil adalah langkah menuju langit yang selama ini ia impikan.
Lia pun tak tinggal diam. Ujian masuk Fakultas Kedokteran adalah salah satu ujian paling sulit yang pernah ia hadapi, namun ia menghadapinya dengan kepala tegak. Setiap soal yang ia jawab adalah sebuah pertempuran kecil yang ia menangkan, satu demi satu.
Minggu-minggu berlalu, dan hasil ujian pun diumumkan.
Hari pengumuman hasil ujian itu tiba. Di sekolah, suasana tegang menyelimuti setiap sudut. Para siswa berkumpul di depan papan pengumuman, menanti hasil yang akan menentukan masa depan mereka. Ardian dan Lia berdiri berjauhan, terdiam dalam keheningan yang penuh dengan doa dan harapan.
Bagi mereka berdua, momen ini bagaikan persimpangan di ujung jalan panjang yang telah mereka tempuh. Di satu sisi, ada cahaya harapan; di sisi lain, ada gelapnya ketidakpastian. Jalan yang akan mereka pilih bukanlah sesuatu yang sepenuhnya bisa mereka kendalikan, namun usaha keras dan pengorbanan mereka menjadi lilin yang menuntun mereka hingga titik ini.
Lia berdiri dengan tenang, meskipun jantungnya berdegup kencang. Ardian, di sisi lain, merasakan setiap detik seperti jarum yang perlahan menusuk kulitnya, menunggu waktu yang terasa tak kunjung tiba. Akhirnya, pengumuman dimulai.
Seorang guru mulai memanggil nama-nama mereka yang berhasil lolos seleksi beasiswa dan diterima di universitas atau akademi pilihan mereka. Suara-suara riuh dan bisik-bisik semakin memenuhi udara, seperti angin yang tak menentu arah.
“Lia Rahman…” Guru itu menyebut nama Lia. Seolah waktu berhenti sejenak, semua mata tertuju padanya. Lia melangkah maju, kakinya terasa berat. Setiap langkahnya seperti berjalan di atas tanah yang rapuh, namun di dalam hatinya, ia mencoba memegang teguh tekad yang selama ini ia bangun.
“Selamat, kamu berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk Fakultas Kedokteran di Universitas Negeri,” ucap gurunya dengan senyum bangga.
Perasaan Lia seketika meledak seperti kembang api yang menghiasi langit malam. Air mata mengalir di pipinya, namun bukan air mata kesedihan. Ini adalah air mata kebahagiaan yang telah lama ia simpan. Semua kekhawatiran yang selama ini menghantuinya, semua malam tanpa tidur dan usaha tanpa henti, akhirnya terbayar. Seolah gunung yang selama inimenghalangi jalannya tiba-tiba runtuh, membuka jalan yang jelas di hadapannya.
Sementara itu, Ardian berdiri dengan tangan terkepal, mendengarkan setiap nama yang disebut. Namanya belum dipanggil, dan ia merasa kecemasan semakin menyusup ke dalam hatinya. Tes fisik dan akademik yang ia jalani beberapa minggu lalu masih terasa segar dalam ingatannya. Apakah semua usahanya cukup? Apakah semua latihannya membawanya ke tempat yang diimpikannya?
“Aryo, Agung, Arief…” Nama-nama terus bergulir, namun bukan namanya.
Lalu, tiba-tiba terdengar suara gurunya kembali. “Ardian Nugraha.”
Dunia Ardian seolah berhenti. Semua suara di sekitarnya memudar, hanya ada satu hal yang ia dengar: namanya. Dengan napas tertahan, ia melangkah maju, hampir tak merasakan tanah di bawah kakinya.
“Selamat, Ardian. Kamu lolos seleksi Akademi Angkatan Udara dan mendapatkan beasiswa penuh.”
Kata-kata itu menggema di telinganya. Untuk sesaat, Ardian hanya bisa berdiri terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Rasa bahagia yang meluap di hatinya seperti ombak besar yang menghantam pantai dengan penuh kekuatan. Tekadnya yang selama ini dijaga dengan penuh hati-hati, seperti lilin kecil yang menyala di tengah badai, kini bersinar terang dan memancar ke segala arah.
Hari itu, Lia dan Ardian duduk bersama di bangku panjang di halaman sekolah yang sudah mulai sepi. Udara sore yang sejuk mengalir lembut, membawa perasaan damai yang sudah lama tidak mereka rasakan. Di sekitar mereka, daun-daun berguguran, seakan menyambut awal baru yang akan segera mereka jalani.
“Kita berhasil, Ardian,” kata Lia dengan senyum yang masih tak bisa ia sembunyikan.
Ardian mengangguk pelan. “Ya, kita berhasil. Tapi ini baru permulaan, Lia. Perjalanan kita masih panjang.”
Lia menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. **Personifikasi**: Langit sore tampak seolah tersenyum, seakan ikut merayakan keberhasilan mereka. “Aku tahu, tapi setidaknya sekarang kita tahu bahwa tidak ada mimpi yang terlalu besar untuk dicapai, selama kita berusaha.”
Ardian tersenyum kecil, lalu menatap Lia dengan serius. “Kau tahu, Lia, ada saat-saat ketika aku berpikir kita takkan pernah sampai di sini. Tapi sekarang, aku percaya bahwa apa yang kita capai hari ini adalah bukti bahwa segala keterbatasan, segala rintangan, hanya ada di pikiran kita. Dunia ini mungkin tidak selalu adil, tapi selama kita memiliki tekad, kita bisa merubah jalan kita sendiri.”
Impian mereka bukan lagi awan di kejauhan yang sulit diraih. Kini, impian itu adalah peta yang tergenggam erat di tangan mereka, menuntun mereka pada perjalanan yang baru—perjalanan yang mungkin penuh tantangan, namun juga penuh harapan.
Minggu-minggu berikutnya, Lia dan Ardian mulai mempersiapkan diri untuk fase berikutnya dalam hidup mereka. Lia berusaha keras menyelesaikan semua persiapan administratif untuk masuk Fakultas Kedokteran. Dokumen-dokumen, wawancara, hingga berbagai syarat tambahan dijalani dengan penuh ketelitian. Meskipun mimpinya sudah terasa lebih dekat, Lia tahu bahwa perjalanan masih panjang. Setiap langkah harus diambil dengan hati-hati.
Ardian pun tak kalah sibuk. Setelah lolos seleksi Akademi Angkatan Udara, ia langsung memulai pelatihan intensif untuk mempersiapkan fisik dan mentalnya. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, melanjutkan latihan fisiknya dengan semangat yang lebih besar dari sebelumnya. Di setiap tetes keringat yang jatuh, Ardian melihat mimpi-mimpinya terwujud sedikit demi sedikit.
Di tengah kesibukan mereka, ada momen-momen singkat di mana mereka berdua saling bertukar pesan atau bertemu di tempat favorit mereka di sekitar sekolah. Persahabatan yang terjalin di antara mereka bukan lagi sekadar saling berbagi cerita tentang mimpi. Kini, mereka adalah saksi satu sama lain dalam perjuangan hidup yang sesungguhnya.
Tiga bulan kemudian, Lia sudah resmi diterima di Fakultas Kedokteran dengan beasiswa penuh. Setiap pagi, ia berangkat ke kampus dengan perasaan penuh syukur. Di setiap langkahnya menuju ruang kuliah, Lia merasa seperti sedang memasuki dunia baru—dunia di mana ia bisa mewujudkan semua yang ia impikan. Meskipun perjalanan ini berat, Lia tahu bahwa ia tidak sendirian. Dukungan keluarganya, kerja kerasnya, dan tekad yang ia bangun bersama Ardian adalah alasan mengapa ia bisa berdiri di sana.
Ardian, di sisi lain, sudah memulai pelatihan dasar di Akademi Angkatan Udara. Pelatihan yang keras dan penuh disiplin menjadi tantangan tersendiri baginya, namun Ardian menghadapi setiap hari dengan semangat yang tak pernah pudar. Mimpi untuk terbang di atas awan, melihat dunia dari ketinggian yang hanya bisa dicapai oleh sedikit orang, selalu membakar semangatnya.
Suatu hari, saat mereka bertemu di sebuah kafe kecil di dekat kampus Lia, mereka berbicara tentang semua yang telah mereka lalui.
“Aku masih tak percaya kita sampai di sini,” kata Lia, menyesap kopinya. “Sepertinya baru kemarin kita duduk di bangku sekolah, memikirkan bagaimana caranya kita bisa meraih mimpi-mimpi kita.
Ardian mengangguk seraya tersenyum. “Iya, waktu berjalan cepat. Tapi lihat di mana kita sekarang. Kau di Fakultas Kedokteran, dan aku di Akademi Angkatan Udara. Mimpi-mimpi yang dulu terasa begitu jauh sekarang menjadi kenyataan.”
Lia menatapnya, tatapan yang penuh dengan makna. “Kau benar, Ardian. Tapi aku juga sadar satu hal. Mimpi-mimpi kita ini tidak datang begitu saja. Ini semua berkat usaha kita, tekad kita, dan keyakinan bahwa meskipun dunia tidak selalu berpihak pada kita, kita bisa mengubah nasib dengan usaha kita sendiri.”
Ardian tersenyum lembut. Senyumnya itu seperti cahaya kecil yang menembus kegelapan, memberi Lia rasa tenang. “Ya, Lia. Masa depan kita memang ada di tangan kita sendiri. Langkah kecil kita mungkin tidak selalu terlihat, tapi dengan mimpi besar dan tekad yang kuat, tidak ada yang tidak mungkin.”
Di luar kafe, hujan mulai turun pelan, seperti sebuah ironi lembut dari langit mengingatkan mereka bahwa perjalanan hidup, meskipun penuh rintangan, selalu bisa dilewati dengan keyakinan yang teguh. (Ana@4/10/2024)
Citra Medina Ayuning Tyas; lahir di Yogyakarta, 21 Januari 2009. Kini ia tercatat sebagai siswi SMK Negeri 2 Yogyakarta kelas X Konstruksi Gedung dan Sanitasi. Sebelumnya, ia telah menyelesaikan pendidikan di MTs Negeri 9 Sleman pada tahun ajaran 2023/2024. Ia memiliki hobi mendengarkan musik dan traveling. Diluar akademik, ia aktif dalam organisasi Wira Satya Pradana (WSP). Penulis dapat dihubungi melalui email citramedina06@gmail.com atau nomor Whatsapp 082137688259.